Banyak cara memotivasi diri untuk melejit menjadi luar biasa. Dari pribadi biasa mampu melakukan aktivitas luar biasa, dari pribadi biasa –juga– mampu menghasilkan karya bermakna. Seperti yang pernah saya dengarkan dalam sebuah kaset ‘100 Ways to Motivate Yourself’. Jalannya sangat banyak, Anda bisa memilihnya sendiri mana yang anda suka. Antara satu orang dengan orang lain kadang berbeda. Ada orang yang termotivasi karena mendapatkan hadiah, ada yang termotivasi untuk mendapatkan pujian dan sanjungan, ada takut dimarahi, ada juga yang termotivasi karena banyak teman yang melakukan.
Terserah Anda mau memilih yang mana. Pada prinsipnya, seperti yang disampaikan Tung Desem Waringin dalam Seminar ‘Life Revolution’ seseorang melakukan sesuatu karena dua hal. Ya! Dua hal. Yang pertama untuk mendapatkan kenikmatan dan yang kedua untuk menjauh dari kesengsaraan. Kita juga bisa belajar tentang fitrah manusia ini pada ketetapan yang diberikan Alloh terhadap amal manusia. Alloh membalas surga bagi amal-amal kebaikan dan menukar neraka terhadap amal-amal keburukan. Bahkan Alloh menggambarkan detail-detail keadaan surga dan neraka di dalam Al-Qur’an. Untuk apa? Tentu untuk memotivasi. Seperti yang saya sampaikan diatas fitrah manusia adalah untuk mendekat pada kenikmatan dan menjauh dari kesengsaraan.
Tentang surga dan neraka ini sangat mempengaruhi dan menjadi motivasi bagi sahabat-sahabat Nabi pada saat itu. Tidak heran pembicaraan tentang surga dan neraka adalah sesuatu hal yang biasa pada saat itu. Dikisahkan, seorang sahabat yang pada saat itu sedang makan kurma. Kemudian datanglah Rasulullah dan menanyakan, “Kenapa, Engkau tidak pergi berjihad? –dalam hal ini pengertiannya perang–. “Apa yang akan saya dapatkan, Wahai Rasulullah?”, sahabat ini kembali bertanya. “Engkau akan mendapatkan surga”, tandas Nabi. Seketika itu juga sahabat ini bangkit dan meninggalkan sisa gigitan kurma. Sebelum jauh, Nabi bertanya, “Kenapa engkau tidak menghabiskan kurmamu?” “Terlalu lama menghabiskan sebiji kurma, jika dibandingkan surga sebagai tukarannya”, demikian sahabat ini menjawabnya.
Luar biasa bukan?. Saya ingin menawarkan satu hal yang bisa memotivasi kita semua –semoga–, sesuatu yang menurut saya luar biasa. Anthony Robbins menyebutnya sebagai kuasa tak terbatas dalam bukunya ‘Unlimited Power’. Apa sesuatu itu? Ialah kematian. Tampaknya menyeramkan –jika Anda memang berfikir demikian–. Namun tidak sadarkah kita bahwa kematian itu sungguh nyata adanya, sungguh kita semua akan mengalaminya. Kapan datangnya? Nah itulah rahasianya. Tidak ada satupun makhluk yang mengetahui rahasia ruh –kematian– ini, sekalipun Nabi, kecuali Alloh SWT, Sang pemilik ruh.
Anda pasti banyak cerita tentang orang-orang disekitar Anda yang mendahului. Saya sendiri mempunyai banyak kisah tentang itu. Saat TK, teman sekelas saya meninggal karena tenggelam di empang. Waktu SD ada dua teman saya yang meninggal yang satu karena demam berdarah dan yang satunya tersetrum listrik. Teman yang pernah sebangku dengan saya di SMP juga ada yang meninggal karena sakit. Di SMA, ada teman saya yang meninggal karena kecelakaan. Saat SMA pula saya kehilangan nenek –dari ayah– satu-satunya yang pernah saya lihat –kakek dan nenek dari ibu telah meniggal sebelum saya lahir, begitu juga dengan kakek dari ayah saya–. Di bangku kuliah, teman seorganisasi saya harus meninggal karena penyakit paru-paru. Masih banyak lagi, tidak mungkin cukup saya ceritakan dalam lembar ini. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, semua akan kembali kepada Alloh, Tuhan pemilik alam dan pemilik manusia.
Saya tidak berharap Anda ngeri mengingatnya, karena mengingat mati sejatinya menambah tenaga kita. Kita akan mendapatkan kakuatan tak terbatas (unlimited power) dengan mengingat mati. Kenapa bisa begitu? Mari kita perhatikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, "Bekerjalah untuk duniamu, seakan-akan kamu hidup di dunia selama-lamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu, seakan-akan kamu mati esok hari." Tidakkah tersirat bahwa perbandingan waktu yang digambarkan sangat luar biasa. Hidup selamanya adalah hal yang mustahil, hanya Allohlah yang Maha Kekal. Kenapa digambarkan demikian? Agar kita sadar bahwa sebenarnya waktu yang kita miliki di dunia ini sangat singkat, mampir ngombe orang jawa mengatakan.
Dan apa tujuan kita hidup di dunia ini? “Tidak Aku (Alloh) ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Itulah satu-satunya tujuan diciptakannya kita, untuk beribadah. Hal ini mengandung arti, apapun aktivitas kita adalah bentuk ibadah kepada Alloh, harusnya.
Dengan kesadaran bahwa hidup itu ibadah, belajar, berusaha dan aktivitas apapun adalah ibadah sebagai orang beriman akan menjadikan motivasi tersendiri untuk mempersembahka yang terbaik. Beribadah –dalam arti luas– dengan cara terbaik. Sayangnya waktu yang kita miliki entah sampai kapan, kita sendiri juga tidak tahu. Tapi, lagi-lagi tentang kesadaran. Dengan kesadaran waktu yang kita miliki hanyalah sementara, “…seolah-olah engkau akan mati esok hari” maka pikiran, usaha, sumber daya (mengutip bahasa Anthony Robbins) akan kita kerahkan penuh.
Kita tidak tahu saat ini, apakah waktu sore untuk kita, apakah malam bagi kita, ataukah malah subuh bagi kita. Semua ini misteri, dan sungguh dalam misteri itu ada pelajaran berharga bagi kita.
Jika kita tidak mau hidup didunia ini hanya untuk memenuhi dunia, hanya ada tanpa memiliki makna, hidup tanpa meninggalkan jejak-jejak kebaikan, tanpa meninggalkan tinggalan-tinggalan bermanfaat, tanpa menghasilkan karya-karya hebat, maka tidak ada waktu untuk berdiam diri, Janganlah kita mati sebelum waktunya. Jadikan kematian kita menjadi saksi bahwa kita telah melakukan hal yang terbaik, menghasilkan karya-karya terbaik.
Jadikan kematian itu untuk memotivasi kita, seperti yang dilakuan oleh Umar bin Abdul Azis. Suatu waktu khalifah Umar bin Abdul Aziz sesampainya di rumah setelah mengurus jenazah Sulaiman bin Abdul Malik, kakeknya, Umar istirahat sambil berbaring di ranjang. Kemudian datang salah seorang anaknya bernama Abdul Malik, dan bertanya: "Wahai Amirul Mukmin, gerangan apakah yang membaringkan Ayah di siang hari bolong ini?" "Ayah letih, Ayah butuh istirahat." Jawab Umar. "Semalam suntuk Ayah menjaga Sulaiman bin Abdul Malik dan itu yang mendorong Ayah istirahat, nanti setelah zuhur Ayah akan mengembalikan hak-hak orang-orang yang tertindas dan teraniaya," lanjut ayahnya. Anaknya kembali bertanya: "Wahai Ayah, siapakah yang menjamin Ayah hidup sampai waktu zuhur? Bagaimana kalau Allah menakdirkan Ayah mati sekarang?" Mendengar ucapan anaknya yang terakhir ini, seketika Umar bangun dan pergi membawa satu karung pikulan gandum lalu mencari orang yang kelaparan dan atau yang perlu dibantu.
Maka jadikan kematian untuk berjuang agar kita ‘menghidup’ untuk selamanya. Dengan apa? Jika gajah mati, ia akan meninggalkan gading, dan jika hari mau mati, ia akan meninggalkan belang, maka kematian kita, kita akan meninggalkan nama. Tentu bukan nama keburukan yang menunjukkan kehinaan kita semasa hidup, tapi nama agung, nama mulia yang akan dikenang sepanjang masa. Menjadi pengantar generasi-generasi setelah kita untuk menjalani hidup dengan pegangan yang kokoh, berjalan pada jalan yang lurus dan menemukan motivasi terbaik untuk melakukan hal terbaik. Bukankah yang demikian adalah sebuah amal mulia, yang tidak akan terputus pahalanya. Yaitu ilmu yang bermanfaat, anak yang sholih-sholihah, dan amal jariyah. Semoga kita merindu untuk mendapatkan salah satu bahkan kesemuanya itu.
di ambil dari semangat.blogsome.com